Menurut al-Hâkim dan lain-lain dari al-Miswar bin Makhramah dan Marwân bin al-Hakam, surat al-Fath ini mulai dari awal hingga akhir diturunkan antara Makkah dan Madinah dalam konteks perjanjian damai Hudaibiyyah. Perjanjian ini kelak mengantarkan penaklukan kota Makkah dan tampilnya negara Islam sebagai adidaya baru di Jazirah Arab. 
Agar dapat dipahami konteksnya, ayat ini harus dihubungkan dengan ayat sebelumnya, yang dalam istilah ‘Ulûm al-Qur’ân disebut Munâsabât bayn al-âyah, yaitu  ayat:
( هُوَ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا )                   Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa kebenaran dan agama yang haq untuk memenangkannya atas agama-agama yang ada seluruhnya. Cukuplah Allah sebagai saksinya. (QS al-Fath : 28).
Dari sinilah frasa Muhammad[un] Rasûlullâh (Muhammad Rasulullah) dapat  dipahami kedudukannya sebagai kalimat penjelas (jumlah mubayyinah) terhadap Rasul yang diutus oleh Allah dengan membawa hidayah dan agama yang haqq. Mengenai kata Muhammad[un] dalam ayat di atas, sebagian ulama tafsir mempunyai dua pandangan. Ada yang menyatakannya sebagai subyek (mubtada’), dengan kata  Rasûlullâh merupakan predikat (khabar), ada juga yang menyatakan, bahwa kata Muhammad[un] adalah subyek (mubtada’), Rasûlullâh adalah sifat subyek, sedangkan predikatnya adalah asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika kita memilih pendapat yang pertama,  konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah. Sebaliknya, jika pendapat kedua yang dipilih, konotasinya: Muhammad, Rasulullah. 
Sementara itu, frasa walladzîna ma‘ah[u] (dan orang-orang yang bersamanya), dengan diawali huruf waw di depannya, ada yang menyatakan sebagai subyek kedua setelah subyek pertama, yaitu: Muhammad[un]; kemudian frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr—menurut pendapat ini—kedudukannya sebagai predikat kedua setelah predikat pertama, yakni kata Rasûlullâh. Namun, ada juga yang menyatakan, bahwa frasa walladzîna ma’ah[u] adalah ma‘thûf ‘alayh (frasa yang dihubungkan) dengan Muhammad[un] sehingga subyek dan predikatnya hanya satu, masing-masing adalah Muhammad[un] dan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr. Jika dipilih alternatif pertama, konotasinya: Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka. Jika pilihan kedua yang diambil, konotasinya: Muhammad, utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (sahabat) adalah orang-orang yang sangat keras terhadap orang kafir dan sangat mencintai sesama mereka. 
Inilah hasil pembacaan terhadap struktur lafal yang berbeda dan implikasinya terhadap makna yang terdapat dalam ayat tersebut. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak membawa implikasi yang serius terhadap makna ayat di atas secara keseluruhan. Di sisi lain, as-Suyûthi, menjelaskan bahwa dinyatakannya: asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), menunjukkan keunikan sifat Rasulullah dan para sahabat, yang memadukan ketegasan dan kekerasan (terhadap orang kafir) dengan kasih-sayang (terhadap sesama Muslim). Seandainya hanya dinyatakan asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (keras terhadap orang-orang kafir), tentu akan menimbulkan persepsi, seakan-akan mereka adalah orang-orang yang kasar. Karena itu, dengan dinyatakan, ruhamâ’ baynahum (mencintai sesama mereka), kesan tersebut hilang. Struktur seperti ini, persis seperti yang digunakan oleh Allah dalam ayat lain:
( أَذِلَّةٌ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٌ عَلَى الْكَافِرِيْنَ )               
Artinya:
Yang bersikap lemah-lembut kepada orang Mukmin dan yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir. (QS al-Maidah: 54). 
Lalu apa maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr (sangat keras terhadap orang-orang Kafir) dan ruhamâ’ baynahum (sangat mencintai sesama mereka) dalam ayat tersebut? Apakah ini hanya sifat Rasul dan para sahabatnya yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah saja atau bersifat umum meliputi karakter seluruh para sahabat? 
Kata asyiddâ’ adalah bentuk plural non-jender (jamak taktsîr) dari kata  syadîd   (orang yang keras). Kata ruhamâ’ juga merupakan jamak taktsîr dari kata rahîm (orang yang mengasihi). Kebanyakan ahli tafsir, seperti al-Qurthubi dan as-Syaukani, menjelaskan konotasi dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr tersebut dengan menggunakan penafsiran Ibn ‘Abbâs, pakar tafsir, murid Rasulullah saw., yang menyatakan: ghilâdh[un] ‘alayhim ka al-asad[i] ‘alâ farîsatih[i] (keras terhadap mereka, bak singa terhadap mangsa buruannya). Secara umum, as-Suyuthi, menjelaskan maksud frasa tersebut dan frasa berikutnya, bahwa mereka keras dan tegas terhadap siapa saja yang menyimpang dari agamanya, dan saling kasih-mengasihi di antara sesama mereka (Muslim). Inilah maksud dari frasa asyiddâ’ ‘alâ al-kuffâr ruhamâ’ baynahum. Sebagian ahli tafsir, menyebutkan bahwa sifat tersebut merupakan sifat sahabat yang terlibat dalam kasus Hudaibiyah. Namun, pandangan ini dibantah oleh as-Syaukani, berdasarkan kaidah: 
اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَالَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ   
Artinya:   
Keumuman itu tetap berlaku sesuai dengan keumumannya selama tidak ada dalil pengkhusus yang dinyatakan (untuk mengkhususkannya).
Dari sini, beliau berpendapat, bahwa yang lebih tepat adalah menginterpretasikan makna umum sesuai dengan keumumannya. Dengan demikian, sifat tersebut merupakan sifat seluruh sahabat Rasulullah Saw. 
Mereka juga ruku’ dan sujud dengan tulus ikhlas karena Allah, senantiasa mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya yang agung.. demikian itulah sifat-sifat yang agung dan luhur serta tinggi. Demikian itulah keadaan orang mukmin pengikut Nabi Muhammad SAW. Allah menjanjikan untuk orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh di antara mereka yang bersama Nabi serta siapapun yang mengikuti cara hidup mereka dapat mencapai kesempurnaan atau luput dari kesalahan atau dosa. Kalimat asyidda’u ‘ala al-kuffar sering kali dijadikan oleh sementara orang sebagai bukti keharusan bersikap keras terhadap non muslim. Kalaupun dipahami sebagai sikap keras, maka itu dalam konteks peperangan dan penegakan sanksi hukum yang dibenarkan agama. Ini serupa dengan firman-Nya.
“… dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat …” (QS. 24:2). 
Dari hal diatas dapat kita ketahui makna yang terkandung dari ayat diatas sebagai berikut:
1. Mewujudkan rasa hormat dan rasa kasih sayang sesama manusia.
2. Mewujudkan seorang hamba yang ahli sujud dan taubat.
4.Kandungan Hukum dan Aspek Pendidikan
Di dalam Tafsir Ibnu Kasir di terangkan tentang ayat tersebut bahwa :
Allah Swt mengabarkan tentang Nabi Muhammad saw, bahwasanya beliau adalah utusa-Nya yang hak tanpa ada keraguan, Allah Swt berfirman  ( مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّه ) kalimat ini merupakan susunan mubtada’ dan khobar, semua sifat Rasulullah Saw sangat bagus, kemudian Allah Swt memuji para sahabatnya dengan firman-Nya yang berbunyi :
( وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ) 
pujian ini sama seperti firman Allah Swt dalam surat Al- maidah ayat 54 yang berbunyi :
( فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ )
inilah sifat seorang mu’min yang mempunyai sifat keras dan bengis terhadap orang kafir, pengasih dan berbuat kebaikan kepada orang yang suka berbuat baik, dan menunjukan wajah yang marah dan cemberut terhadap orang kafir, dan murah senyum dan wajah yang ramah terhadap orang muslim itu sendiri, seperti diterangkan dalam firman Alloh :
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قَاتِلُوا الَّذِينَ يَلُونَكُمْ مِنَ الْكُفَّارِ وَلْيَجِدُوا فِيكُمْ غِلْظَةً )
Dan Rasulullah Saw bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ
Budi Luhur Rasulullah Saw Terhadap Orang Muslim; 
a. Beliau adalah seorang yang peramah, sopan santun dan tenang;
Beliau adalah seorang yang pengasih, penyayang kepada sesama, murah hati dan suka memberikan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan bantuan, akibat kemurahan hari beliau, kerap kali beliau menanggung kesusahan orang yang sedang menderita susah dan mengalahkan kepentingan diri sendiri asalkan kesusahan orang lain dalam kebenaran. Beliau adalah orang yang sabar, tahan uji dan berani menderita, beliau adalah orang yang tabah hati, tahan marah, dan tahan dendam jika kebetulan marah, tidak ada tanda-tandanya, melainkan kerut urat yang berdiri diantara bulu-bulu keningnya, memang beliau adalah seorang yang lapang dada, dapat mengendalikan dan menahan kemarahan hatinya.
b. Beliau adalah orang yang terkenal jujur, bisa di percaya;
Beliau jujur dalam perkatan dan jujur dalam perbuatan serta sangat jauh dari sifat pendusta atau pembohong karenanya sejak muda sudah terkenal dengan nama al amin ( yang dipercaya ).
c. Beliau suka menghormati yang lebih tua dan mengasihi yang lebih muda dan beliau orang yang berterima kasih, suka membalas jasa dan tahu membalas jasa.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar